ARTIKEL TENTANG PERMASALAHAN PERENCANAAN KOTA
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN
Urbanisasi merupakan fenomena global yang berdampak pada timpangnya penyediaan perumahan dan pemukiman di kawasan perkotaan. Permintaan yang besar dan terjadi terus-menerus, tidak dapat dipenuhi oleh penyediaan. Pada kota-kota di negara-negara berkembang, masalahnya lebih rumit, karena pertumbuhan penduduk yang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi di negara-negara maju. Kemampuan penyediaan perumahan secara formal, seperti real estat, dan perumahan dari pemerintah atau swasta, sangat terbatas dan hanya menyentuh golongan menengah ke atas. Sementara golongan berpendapatan rendah tak terjamah dan dibiarkan mencari jalan keluar sendiri. Dampaknya adalah tumbuh suburnya permukiman informal, yang di Indonesia lazim dinamakan kampung, dengan ciri padat, kumuh, jorok, tidak mengikuti aturan-aturan resmi, dan mayoritas penghuninya miskin.
Persoalan perkotaan kemudian timbul, selain kesenjangan antara permintaan dan penyediaan perumahan, karena tidak peka dan tidak ada kepedulian dari penentu kebijakan terhadap golongan miskin. Permukiman informal menjadi terlantar, terutama dalam penyediaan layanan perkotaan. Banyak pendapat tentang penyebab urbanisasi, terutama tentang migrasi. Douglass berpendapat bahwa perbedaan yang mencolok antara upah buruh di desa dan kota adalah salah satu penyebab mengalirnya penduduk pedesaan ke kota. Organisasi Buruh Sedunia berpendapat bahwa kota memberi kesempatan kerja lebih banyak daripada desa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kehadiran kaum migran yang katanya tidak bermodal dan tidak berpendidikan itu harus diterima sebagai kenyataan, karena akhirnya mereka dapat menyelesaikan persoalan mereka sendiri. Mereka membangun permukiman, menciptakan lapangan kerja, tanpa bantuan siapapun. Ironisnya, mereka seringkali menjadi korban kepicikan kebijakan, berupa pengusiran (dengan kemasan operasi yustisi) dan penggusuran. Pertimbangan sosial terlindas oleh pendekatan kekuatan Tramtib yang diskrimatif dalam kependudukan.
Sejak kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan para elite politik beberapa bulan lalu di Cengkareng, pencanangan pembangunan rumah susun mulai gencar dilakukan. Akan dibangun menara-menara rumah susun di setiap kota besar untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah, yang miskin dan berdiam di permukiman kumuh. Kota-kota akan tertata lebih rapi, tak ada permukiman kumuh, dan ini juga sekaligus berarti mengentaskan kemiskinan. Menara-menara itu akan dibangun di tengah kota, dekat dengan lapangan kerja, dan mengurangi kemacetan lalu lintas. Prakarsa ini sekilas sangat menarik, tapi tidak didahului dengan penelitian atau pengamatan terhadap pengalaman membangun rumah susun. Kemungkinan juga, Wakil Presiden telah menerima informasi yang keliru, apalagi objek peninjauan ke Cengkareng itu dipusatkan pada rumah susun sumbangan Yayasan Budha Tzu Chi, sebuah sumbangan berupa rumah susun 1.100 unit, untuk memindahkan pemukim di Bantaran Kali Angke yang kumuh, dengan lahan milik Perumnas, dibangun oleh Yayasan Cinta Kasih, dan Pemprov DKI yang mengisinya dengan penghuni. Hal ini menjelaskan bahwa memindahkan kaum miskin dari perumahan kumuh ke rumah susun tidak mengentaskan kemiskinan. Model pembangunan ini, yang lebih tepat dinamakan perumahan sosial (social housing), juga tidak berkelanjutan karena terjadi subsidi terus-menerus. Kalau model ini yang akan dipakai sebagai kebijakan pemerintah, maka asas pemerintah sebagai pemberdaya (enabler), akan kembali ke penyedia (provider). Ini berarti, lebih banyak dana yang harus disediakan.
Memindahkan kelompok sasaran dari permukiman kampung ke permukiman teknokratik seperti rumah susun, hendaknya mempertimbangkan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya secara komprehensif, juga melibatkan calon penghuni rumah susun dalam proses perencanaan, yang selama ini cenderung dikesampingkan. Rancangan yang baik itu misalnya dengan melibatkan penumpang dalam ruang kemudi, arah dan tujuan dibahas bersama antara pengemudi dan penumpang. Sementara itu, perubahan sosial yang tak terelakkan pasti akan terjadi, karena yang dipindahkan bukanlah barang. Mereka berasal dari permukiman padat, dan terkadang kumuh, tapi penuh dengan nilai-nilai sosial, seperti keeratan dan keakraban. Almarhum Prof. Selo Soemardjan pernah berpendapat bahwa tinggal di rumah susun itu merasa jauh dari tetangga, sekalipun fisik berdekatan, dan tinggal di rumah susun tidak sebebas tinggal di permukiman kampung. Pembangunan menara rumah susun di tengah kota memancing pertanyaan karena lahan di tengah kota sudah penuh dengan bangunan. Diperlukan pembebasan, bukan penggusuran, dengan nilai lahan yang mahal, sehingga biaya pembangunan membengkak. Kalau rumah susun ini hanya untuk golongan miskin, maka dampaknya, makin banyak rumah susun yang dibangun, akan menambah besarnya subsidi, sehingga ada sektor lain yang dikorbankan.
Sumber: Darrundono.2006. “Mencari Model Pembangunan Perumahan yang Berkelanjutan,” dalam http://www.karbonjurnal.org